Kursi yang usianya lebih tua dariku menjadi saksi cerita
yang pernah terjadi dikamar ini, semuanya. Aku ingat, pertamakalinya aku mengizinkan
Rob masuk kamar ini, usiaku masih 6 tahun saat itu. Kata pertama yang ia
keluarkan adalah “wah” ia terkagum karena kamarku rapih dan penuh dengan gambar
tokoh kartun favoritku serta background berwarna merah muda dikamar ini. Menurutnya
kamarku benar-benar menakjubkan. Untuk membangun kamar penuh dengan gambar
serta atribut lainnya yang bertemakan kartun, tentu saja aku dibantu oleh kedua
orangtuaku, tak lupa kakek nenek juga ikut memberikan boneka setiap hari ulang
tahunku.
Aku beritahu sekali lagi, masa kecilku adalah masa yang
paling menyenangkan dan yang paling aku suka. Perlahan lamunanku akan masa
kecil memudar. Aku mengulangi lagi kejadian dilapangan, Rob bersama perempuan
itu. Aku menghela napas, berjalan menuju kursi tua yang berada didekat jendela
dan melihat keluar sana. Diujung jalan, tepatnya dipersimpangan, terdapat tiang
listrik yang menghubungkan kabel untuk aliran listrik didesa ini. Awalnya desa
ini begitu sepi, namun perlahan semuanya mulai berubah. Perubahan itu aku
rasakan tidak hanya didesa ini, tapi juga pada Rob. Didalam hati, sebenarnya
aku takut jika ada yang berubah pada Rob, aku takut dia mulai mengabaikanku
karena perempuan itu. Mungkin aku egois, tapi itulah perasaanku yang
sebenarnya.
Tok tok tok ! Suara ketukan dipintu, terdengar halus,
sepertinya itu nenek.
“Iya” Jawabku tersentak, detik berikutnya aku melihat nenek
masuk kekamar mendekatiku.
“Kamu sudah siap untuk makan malam, sayang?” nenek.
“Sebentar lagi nek, aku ingin mandi dulu” Aku tersenyum
berusaha menutupi raut wajah yang aneh ini.
“ Apakah ada masalah dengan Rob? Sejak pulang tadi kamu
terlihat murung.” Sepertinya aku tidak pintar berakting, nenek membaca raut
wajahku, lalu mengusap rambutku yang sudah mulai ‘lepek’.
“Tidak nek, bukan itu. Aku hanya lelah. Seharian aku
berkeliling daerah sekitar sini bersama Rob. Kami kembali berkunjung ketempat
yang sering kami singgahi dulu.” Aku berharap semoga suaraku tidak terdengar bergetar.
“Mandilah, jangan lupa untuk membilas rambutmu, setelah itu
turun kebawah kita makan malam bersama lalu kamu bisa istirahat.”
“Aku segera mandi” Nenek beranjak lalu menutup pintu dan
terdengar suara alas kakinya dilantai yang terbuat dari kayu tua, semua kayu
yang ada dirumah ini memiliki usia yang lebih lama daripada umurku.
Aku masuk kamar mandi, menggantung handuk dipintu kemudian
melepaskan semua pakaianku begitu saja, pakaianku tergeletak dilantai. Segera aku
menyirami tubuhku dengan air hangat. Seperti biasa, sesekali aku melihat
sekeliling kamar mandi karena aku khawatir jika ada kehadiran mahluk lain,
apapun itu atau hewan lebih tepatnya.
Selesai mandi aku langsung ganti baju lalu turun kebawah
bergabung dengan kakek dan nenek. Kakek sedang menata piring dimeja makan. Nenek
baru saja mengangkat panci kecil yang berisi sup labu. Menu malam ini adalah
sup labu dengan taburan wijen diatasnya, roti dan juga ikan tuna panggang. Aku membantu
nenek memindahkan makanan yang masih didapur ke meja makan. Setelah semuanya
sudah siap, kakek memulai dengan berdoa untuk semua hidangan yang sudah
diberikan pada malam ini.
Pertama aku mengambil satu potong roti dan menyiraminya
dengan sup labu yang masih panas, terlihat dari asapnya yang masih mengepul. Kemudian
aku gigit ujung rotinya perlahan, selain karena alasan panas aku juga ingin
menikmati setiap makanan dengan sangat hati-hati. Menurutku, kenapa harus makan
terburu-buru jika makan perlahan lebih nikmat. Kalau saja beralasan karena
waktu yang dimiliki terbatas, itu berarti hanya kurang memperhatikan diri untuk
menyisahkan waktu sebentar saja menikmati hidangan yang ada dihadapan. Aku selalu
suka menghabiskan menu utama diakhir, entah ini kebiasaan baik atau buruk, yang
pasti aku menyukainya. ~~~~
Comments
Post a Comment